Pada umumnya, kata ‘penelitian’ lekat dengan eksperimen laboratoris dan publikasi di jurnal ilmiah. Sebagian besar ilmuwan sulit membayangkan bagaimana hasil penelitian mereka dapat bermanfaat langsung bagi masyarakat, apalagi berkembang menjadi sebuah bisnis.
Industri yang paling sering mengembangkan produk berbasis penelitian adalah farmasi. Memasarkan satu obat baru dapat memakan waktu hingga sepuluh tahun dan dana miliaran rupiah. Kenyataan ini sering kali ‘mengintimidasi’ para peneliti yang pastinya bingung untuk ‘harus mulai dari mana?’
Beruntung, perkembangan dunia bisnis terkini telah membuka peluang bagi pengembang usaha tahap awal (start-up entrepreneur) mengenai permodalan. Modal besar tidak harus datang dari kantung sendiri atau pinjaman bank; crowdfunding, angel investors dan venture capitalists memberikan alternatif sumber dana. Perusahaan industri besar pun aktif mencari dan membeli hasil penelitian melalui lisensi. Namun demikian, syarat utamanya adalah hasil penelitian tersebut haruslah inovatif dan memiliki daya jual.
Betapa pun mutakhirnya, tidak semua hasil penelitian memenuhi dua kriteria inovasi, yakni: 1) solutif, dan 2) memiliki nilai komersial. Solutif berarti menjawab permasalahan nyata di masyarakat; memiliki nilai komersial berarti menimbulkan keinginan orang untuk membeli. Ini menguji kelihaian para peneliti—bukan hanya kepakaran ilmiah, melainkan juga ketajaman menilai peluang bisnis. Menantang bukan?
Secara sederhana, kita dapat membagi inovasi menjadi dua tahap (work stream), yaitu pengembangan produk (product development) dan model usaha (business model). Artikel ini akan merangkum tahap pertama: pengembangan produk.
PENGEMBANGAN PRODUK
1. Menentukan masalah yang ingin dijawab
Dalam berinovasi, hasil penelitian akan lebih mudah diterima jika hal itu dapat menjawab masalah konkret yang penting (important) dan mendesak (urgent) bagi banyak orang. Semakin konkret masalahnya, semakin mudah pula mencari solusinya. Semakin penting dan mendesak masalah yang tengah dihadapi, semakin besar pula manfaat yang didapat jika masalah itu terpecahkan. Selain itu, semakin banyak orang yang merasakan masalah tersebut, semakin besar pula impact yang diberikan oleh solusinya. Hasilnya, semakin besar pula potential market bisnis tersebut.
Cara praktis untuk mengetahui besar masalah serta seberapa penting dan mendesaknya masalah tersebut:
- Suara konsumen (voice of the customer)
Suara konsumen merupakan teknik wawancara sederhana untuk menggali masalah yang dirasakan orang-orang sekitar. Teknik ini biasanya bersifat kualitatif.
Sebagai contoh: ibu menyusui kerap merasa tertekan di tempat kerja. Wawancara dengan 10 ibu merangkum 3 masalah: 1) merasa bersalah karena harus menitipkan anak; 2) merasa khawatir tidak dapat memproduksi cukup ASI; 3) merasa tidak puas karena tidak menunjukkan kinerja terbaik dalam pekerjaan.
- Survei
Setelah mendapatkan informasi kualitatif, besarnya dampak masalah dapat ditelusuri secara lebih mendalam dengan survei kuantitatif. Jumlah responden untuk survei kuantitatif biasanya lebih banyak dibandingkan dengan jumlah orang yang diwawancarai untuk suara konsumen. Misalnya, contoh di atas dapat dilanjutkan dengan menyebarkan kuesioner ke seratus ibu menyusui yang bekerja.
Dalam menanyakan seberapa penting masalah di atas bagi mereka, pertanyaan sebaiknya diformulasikan secara kuantitatif. Sebagai contoh, kuesioner untuk contoh di atas dapat memuat daftar pertanyaan berikut.
1. Apakah Anda merasa lebih tertekan saat kembali bekerja setelah melahirkan, dibandingkan sebelumnya? Ya/Tidak
2. Dari skala 0 sampai 5 (0 = tidak sama sekali; 3 = netral; 5 = sangat signifikan), apakah Anda merasa bahwa perubahan tingkat tekanan tersebut berkaitan dengan menyusui?
3. Terkait masalah di atas, seberapa cepat Anda membutuhkan solusi? Tandailah jawaban Anda dari skala 0 sampai 5 (0 = kapan saja, tidak buru-buru atau tidak merasa ada masalah; 1 = dalam kurun 2 tahun; 2 = dalam kurun 1 tahun; 3 = dalam kurun 6 bulan; 4 = dalam kurun 3 bulan; 5 = saat ini juga)
4. Di antara pernyataan-pernyataan berikut, manakah yang mewakili perasaan Anda mengenai menyusui sambal bekerja? Anda dapat memilih lebih dari satu jawaban.
- Saya merasa bersalah karena harus menitipkan anak saat saya bekerja.
- Saya merasa khawatir tidak dapat memproduksi cukup ASI untuk diminum oleh anak saat saya bekerja.
- Saya merasa tidak bekerja secara optimal karena rasa khawatir yang berkaitan dengan menyusui.
- Lainnya, _____
Kuantifikasi akan membantu agregasi dan analisis data. Contoh kesimpulan yang dapat ditarik dapat berbunyi, “Dari survei kepada 100 ibu menyusui yang bekerja, sebanyak 70% (70) merasakan peningkatan tekanan di tempat kerja dibandingkan sebelum mereka memasuki periode menyusui, 90% (63) di antaranya merasakan peningkatan signifikan atau sangat signifikan. Dari 63 responden tersebut, 89% (56) merasa bersalah karena harus menitipkan anak, 40% (25) merasa khawatir tidak dapat memproduksi cukup ASI, dan 19% (12) merasa tidak bekerja secara optimal.”
Hasil dari langkah pertama ini adalah rumusan masalah (problem statement).
Do's:
- Menjawab masalah yang high volume, high cost, atau time sensitive. Usahakan untuk mengkuantifikasi besar masalah berdasarkan data atau estimasi
- Mengetahui karakteristik pihak yang merasakan masalah ini, yang nantinya berpotensial menjadi pembeli atau mitra. Cari tahu: bagaimana persepsi mereka tentang masalah ini? - --- - Apakah mereka cukup terganggu sehingga secara aktif mencari penyelesaiannya?
Kesalahan yang sering terjadi:
- Mulai merencanakan solusi atau produk tanpa mengenal masalah yang ingin dijawab
- Memilih masalah berdasarkan keingintahuan atau ketertarikan pribadi semata
2. Memilih cara menjawab masalah
Satu masalah dapat memiliki lebih dari satu jawaban. Ibarat meletakkan masalah di tengah kompas, kita dapat memandangkan dari delapan penjuru mata angin. Masing-masing sudut pandang melahirkan solusi yang berbeda.
Misalnya, untuk menjawab masalah pada contoh di atas, ide solusinya dapat berupa GPS yang terhubung dengan perekam suara agar ibu dapat mengecek keberadaan bayi dan mendengar suaranya setiap saat, aplikasi online meeting sehingga ibu dapat bekerja dari rumah 1-2 hari dalam seminggu, atau aplikasi chat untuk berinteraksi dengan pengasuh di tempat penitipan anak.
Hasil dari langkah kedua ini adalah manfaat yang ditawarkan (value proposition).
Do's:
- Brainstorming bersama tim untuk menemukan ide-ide kreatif. Pada tahap ini, anggota tim bebas melontarkan ide sekreatif mungkin, selama menjawab rumusan masalah pada langkah 1
- Mengurutkan prioritas ide solusi berdasarkan seberapa tepat sasaran dan kesesuaian dengan bidang keahlian tim
- Mencari tahu alternatif yang sudah beredar dan seberapa efektifnya
Kesalahan yang sering terjadi:
- Terpaku pada satu ide atau satu sudut pandang
- Terburu-buru menolak suatu ide saat brainstorming
3. Mengembangkan minimally viable product (MVP)
Tahap ini menerjemahkan manfaat yang ditawarkan pada langkah kedua menjadi sebuah produk dengan fungsi utama yang jelas. Hasil dari langkah ketiga ini adalah minimally viable product.
Kadang-kadang, konsentrasi kita teralih oleh fitur-fitur sampingan sebelum merancang fungsi utama dengan mantap. Misalnya, penelitian kita menunjukkan bahwa aroma tertentu dapat meningkatkan produksi ASI dengan mempengaruhi pengaturan hormon. Ketika mengembangkan pompa ASI dengan fitur aromaterapi, ada masukan untuk menambahkan musik. Jika tidak dikelola, bisa jadi kita mengembangkan produk yang terlalu rumit sehingga manfaat utama yang ditawarkan pun menjadi samar.
Do's:
- Membuat daftar definisi operasional (misalnya, tabel ‘Is/Is Not’) untuk memperjelas fitur mana saja yang termasuk lingkup kerja kita
- Mengembangkan produk sederhana dengan berfokus pada fungsi utamanya, setidaknya untuk prototipe pertama
Kesalahan yang sering terjadi:
- Menghabiskan waktu untuk menambahkan fitur yang terlalu banyak atau rumit
- Berusaha menghasilkan produk ‘sempurna’ dalam sekali coba
4. Mengadakan uji coba dan menyempurnakan produk
Uji coba dapat berupa uji konsep (proof-of-concept testing) and uji pilot (pilot testing). Uji konsep biasanya dilakukan terlebih dahulu, sedangkan uji pilot dilakukan dengan menggunakan produk yang hampir siap dipasarkan. Kedua uji coba ini amat penting untuk menilai reaksi calon pengguna. Kita dapat menggunakan umpan balik (feedback) mereka untuk menyempurnakan MVP menjadi produk yang lebih unggul.
Semakin cepat kita memulai uji coba, semakin banyak yang kita bisa hemat. Bayangkan jika kita telah merancang berbagai fitur, lalu reaksi calon pengguna tidak sesuai harapan. Berapa banyak lagi waktu, dana, dan tenaga yang kita perlukan untuk merevisi produk kita?
Hasil dari langkah keempat ini adalah dan seterusnya, hingga mencapai produk akhir (final product).
Do's:
- Merancang uji pilot sesuai jenis produk. Untuk aplikasi mobile, misalnya, kita dapat meminta bantuan teman dan keluarga untuk mencoba. Alternatifnya, kita dapat meluncurkan versi beta untuk diuji coba secara gratis dalam periode terbatas. Pastikan kita mengetahui regulasi terkait yang berhubungan dengan produk tersebut
- Memperbaiki produk sesuai umpan balik, sambil tetap berpedoman pada definisi operasional
Kesalahan yang sering terjadi:
- Melompati langkah ini karena merasa yakin dengan hasil penelitian kita. Uji coba tidak hanya menilai seberapa fungsional sebuah produk, tetapi juga seberapa antusias para calon penggunanya
- Menolak mengubah apa pun karena merasa sayang akan tenaga dan waktu yang telah terpakai (‘sunk cost’). Ini bias kognitif yang menyebabkan kita selalu melihat ke belakang. Uji pilot memang tidak berarti kita menerima semua masukan dan mengubah segala sesuatu. Namun, kita dapat memutuskan dengan lebih jernih jika melihat ke depan, yaitu seberapa besar tambahan manfaat bagi pengguna.
5. Mengajukan perlindungan hak kekayaan intelektual (HKI)
Pengembangan produk berbasis penelitian tentu menguras lebih banyak sumber daya dibandingkan produk me-too. Karena kekuatan produk ini terletak pada properti intelektualnya,. perlindungan HKI menjadi kekuatan hukum saat transaksi komersial (misalnya jual-beli lisensi) dan melindungi peneliti dari plagiarisme.
Ada beberapa macam perlindungan HKI, seperti hak cipta (copyright), paten, dan trade mark. Hasil penelitian umumnya dilindungi oleh paten. Mengingat proses pengajuannya yang kompleks, banyak peneliti menggunakan jasa kuasa hukum HKI.
Beberapa hal penting untuk diingat:
- Perlindungan paten hanya berlaku di negara tempat paten diajukan
- Perlindungan paten bersifat first-to-file
- Terdapat tenggat waktu antara dipublikasikannya suatu gagasan (desain, komponen, atau produk utuh) dengan diajukannya paten. Jika melewati tenggat waktu ini, gagasan akan dianggap sebagai domain publik dan tidak bisa dipatenkan oleh individu/tim/entitas usaha tertentu
- Pengajuan paten tidak perlu menunggu produk final. Paten melindungi fitur spesifik yang bersifat inventif, baru, dan dapat diterapkan secara industri. Sering kali fitur ini dimiliki oleh salah satu komponen penyusun dan bukan produknya secara utuh.
6. Mengajukan perizinan sesuai regulasi
Dalam industri tertentu, seperti alat medis atau farmasi, setiap hasil penelitian harus melalui beberapa tahap uji klinis. Uji klinis harus mengikuti protokol dan pemantauan ketat oleh lembaga yang berkompeten. Setelah terbukti aman dan efektif, produk baru harus mendapatkan perizinan dari lembaga yang berwenang, misalnya Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) atau Dirjen Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan di bawah Kementerian Kesehatan.
Do’s:
- Ketahui dan ikuti regulasi dengan seksama
- Perhitungkan waktu pengajuan perizinan. Karena terdiri atas beberapa tahap, pengajuan perizinan dapat memakan waktu cukup panjang
Kesalahan yang sering terjadi:
- Tidak meluangkan cukup waktu untuk langkah ini saat menyusun linimasa proyek maupun berkomunikasi dengan stakeholders
Demikian rangkuman langkah-langkah mengembangkan produk secara inovatif. Ada banyak sumber-sumber lain yang membahas setiap langkah secara teknis dan terperinci. Pastikan kita terus mencari sumber informasi dan panduan teknis sesuai kebutuhan.
Selamat berinovasi!
Baca lebih lanjut:
Clarysse, B. & Kiefer, S. (2011) The smart entrepreneur.
Barlow, J. (2016) Managing innovation in healthcare.
(cover image: Hannah Norman/KHN Illustration; Getty Images)
Comments