Awal tahun 2020 menjadi tahun yang cukup menantang bagi warga dunia, tak terkecuali di Indonesia. Pandemi Covid-19 yang menghantam bidang kesehatan, nyatanya menjadi salah satu faktor yang melumpuhkan hampir seluruh sektor, baik ekonomi, pendidikan, industri strategis nasional, pariwisata, dan masih banyak lagi. Meski begitu, keberadaan pandemi ini sepertinya tak hanya meninggalkan sisi gelap saja, tapi juga memunculkan sisi terang dari inovasi karya anak bangsa.
Melalui program NIF Learning Hub yang diselenggarakan oleh Nusantara Innovation Forum akhir pekan lalu (25/12), kita akan bersama-sama menelusuri seberapa jauh langkah inovasi Indonesia—terutama dalam bidang produk berbasis riset—telah berkembang setidaknya selama sebelas belas bulan ke belakang. NIF Learning Hub kali ini menghadirkan drg. Ika Dewi Ana, PhD., Wakil Rektor Bidang Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Gadjah Mada (UGM), mengangkat judul "Tantangan dan Strategi Pemanfaatan Hasil-Hasil Riset dan Inovasi di Indonesia — Catatan Penghiliran Alat-Alat Kesehatan dari UGM".
Dalam kesempatan tersebut, drg. Ika memulai dengan sebuah kabar baik dari inovasi Gadjah Mada Electronic Nose (GeNose) yang memperoleh izin edar dari pemerintah Indonesia. Pada awalnya, GeNose dikembangkan untuk mendeteksi protein, yang aplikasinya adalah untuk membedakan zat makanan halal dan non-halal. Akan tetapi dengan adanya pandemi Covid-19, para peneliti GeNose mencoba untuk memodifikasi alat ini sebagai pelengkap pendeteksi Covid-19 selain rapid test dan PCR. Dengan sensitivitas tinggi, bahkan hingga mencapai 97 %, proses yang sangat cepat (2 menit), dan harga yang murah (sekitar 10-15 ribu rupiah) untuk sekali pakai, GeNose digadang-gadang sebagai alternatif potensial pelengkap dan bahkan sebanding dengan PCR. Untuk satu alat GeNose, drg. Ika mengklaim dapat digunakan untuk 100 ribu pasien, sebelum dilakukan penggantian High Efficiency Particulate Air (HEPA) filter baru. Hingga saat ini, GeNose telah sampai pada tahap penerimaan pesanan dan siap untuk produksi lanjutan.
Pada pemaparan tersebut, drg. Ika juga menjelaskan tentang strategi hilirisasi riset yang dikembangkan oleh UGM. Ada tiga tahapan model yang diterapkan UGM untuk strategi hilirisasi, yaitu basic, pre-production, dan production. Pengembangan produk pada tahap basic dimulai di internal laboratorium-laboratorium yang ada di UGM menggunakan sistem Laboratorium Korporasi. Laboratorium Korporasi boleh melakukan riset dan pengembangan produk dengan menggandeng industri sebagai kolaborator. Selanjutnya, di tingkat universitas, ada laboratorium terpadu bernama Advance Technology Research Center yang merupakan titik berat dari tahapan pre-production.
"Untuk mengatasi valley of death dari suatu inovasi, industri bekerja sama di dalamnya. SDM dari industri bisa menempatkan bagian litbang mereka di laboratorium terpadu kita, dan juga sebaliknya, peneliti kita juga dapat melakukan mobilisasi ke industri untuk percepatan dari karya-karya inovasi agar segera dapat dimanfaatkan," papar drg. Ika.
Pada tahap selanjutnya (production), peran industri menjadi lebih besar. Meski UGM tetap memegang peran penting dalam menciptakan atmosfer pendidikan dan penelitian dalam pengembangan produk berbasis industri, salah satunya dengan cara pengembangan Padepokan Industri (teaching industry). Padepokan Industri berguna untuk membangun kompetensi mahasiswa agar dapat mengawal inovasi, sehingga dapat tercipta kerjasama triple helix antara perguruan tinggi-industri-pemerintah dalam hal hilirisasi produk berbasis riset yang berguna bagi masyarakat. Melalui sistem ini, mahasiswa S1, S2, dan S3 di UGM di-trigger dan diarahkan agar riset-risetnya applicable dalam menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat. Nantinya Padepokan Industri UGM juga akan mewadahi untuk UKM dan UMKM yang ingin mengembangkan produknya. Dan bahkan untuk urusan pengujian serta sertifikasi produk, nantinya juga bisa dilakukan melalui mekanisme khusus yang sifatnya mempermudah dengan harga yang terjangkau bagi para pelaku bisnis UKM dan UMKM.
Untuk melakukan hilirisasi produk berbasis riset (terutama untuk bidang kesehatan), ada berbagai proses yang wajib dilalui. Sejauh ini yang telah diterapkan oleh UGM, ada sembilan tahap. Tentunya dengan mempertimbangkan looping dari proses mana yang perlu dilakukan lagi jika dibutuhkan. Di dalam proses-proses ini, ada salah satu tahapan estimasi bisnis yang berguna untuk memperkirakan nilai ekonomis dari suatu produk ketika disandingkan dengan produk-produk yang telah ada, dan juga upaya penentuan harga dan sistem pemasaran, entah self-production, license (jual putus), joint venture, dll.
Dalam kurun waktu beberapa tahun ke belakang, UGM telah melakukan berbagai macam hilirisasi produk kesehatan yang dimanfaatkan langsung oleh pasien-pasien di rumah sakit. Diantaranya ada GAMA-CHA Bone Graft (dikomersialkan di tahun 2014, dan menjadi market leader di tahun 2018), Ina-Shunt: Semilunar VP-Shunt (dikomersialkan di tahun 2016), Ceraspon Hemostatic Sponge (diluncurkan di 2018), dll. Bahkan, di era pandemi tahun 2020 ini berhasil menjalin kerjasama dengan beberapa industri lokal Indonesia untuk mengembangkan: (1) produk ventilator dengan harga jauh lebih murah dari produk impor, bermerek VENINDO—tipe V-01 untuk kebutuhan ICU dan R-03 untuk emergency—yang juga telah mengantongi izin edar, selanjutnya ada (2) GeNose VID, lalu ada juga (3) alat rapid test untuk Covid-19 bermerek RI-GHA yang dikembangkan bersama BPPT RI, Kemenristek/BRIN RI, Universitas Airlangga, Hepatika - Universitas Mataram, dan beberapa perusahaan lokal. Selain itu, ada juga (4) thermal gate scanner yang dilengkapi pemindai wajah dan fitur pendeteksi masker, (5) bilik swab pintar BCL-UGM, serta (6) alat sterilisasi masker N95 bermerek VIONA yang merupakan hasil kerjasama antara Fakultas Teknik dengan Fakultas Kedokteran Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM. Dan tentunya masih banyak lagi produk-produk lainnya.
Bahkan, drg. Ika juga menambahkan, "Intinya, banyak sekali produk-produk yang dihasilkan untuk menjadi solusi bagi kondisi saat ini. Perlu disampaikan bahwa menurut data Kemenristek/BRIN RI tahun ini, jika dibandingkan dengan seluruh produk yang dimanfaatkan untuk menangani pandemi Covid-19 di Indonesia, 58 % adalah produk dari para peneliti UGM."
Menurut beliau, setidaknya ada empat hal yang memantik percepatan inovasi produk berbasis riset dapat dihasilkan tahun ini. Hal pertama adalah, pandemi Covid-19 memacu sense of urgency dalam menciptakan suatu penemuan, di tahun 2020 ini jelas yang utama adalah dalam bidang kesehatan. Kedua, adanya pemikiran sistematis dan keberanian untuk mewujudkan risk mitigation system yang baik, sehingga upaya standardisasi, safety, dll untuk produk berbasis riset Indonesia bisa menjadi acuan global. Selanjutnya yang menjadi pemantik percepatan inovasi adalah self confidence para peneliti untuk bisa mencari celah pembuatan produk berbasis riset yang mampu menjawab tantangan dan kesulitan selama pandemi. Dan yang terakhir, serta yang paling penting adalah dukungan terhadap produk nasional Indonesia wajib untuk selalu digaungkan oleh seluruh masyarakat Indonesia. Karena di tahun ini terbukti bahwa para peneliti dan akademisi Indonesia, bersama dengan pemerintah melalui Kemenristek/BRIN RI dan BBPT, juga industri-industri dari yang rintisan sampai strategis, mampu untuk menjalin kolaborasi yang baik dalam melakukan percepatan inovasi produk-produk berbasis riset buatan anak bangsa, yang tak hanya lebih murah dan andal, tapi juga mangkus dan sangkil ketika disandingkan dengan produk-produk impor.
Hal-hal tersebut tentunya tak akan bisa lepas dari berbagai kebijakan yang mendukung adanya percepatan inovasi, entah itu kebijakan ekspor-impor, kemudahan penyusunan terkait hak dan kekayaan intelektual, percepatan penyaluran dana untuk pembuatan pilot project suatu produk inovasi, perpajakan, bahkan hingga kebijakan untuk memudahkan kolaborasi riset antarlembaga kampus, pemerintah, dan industri. *)
Terbukti, pandemi tak hanya identik dengan perlambatan kemajuan. Karena dari ulasan di atas, telah jelas bahwa tahun 2020 ini merupakan ajang pembuktian bagi para peneliti Indonesia, baik yang berkecimpung di dunia sains maupun sosial, untuk saling berlomba menciptakan inovasi. Percepatan aksi dalam menomor satukan produk berbasis riset di tahun ini bisa jadi merupakan titik balik dari kemajuan Indonesia menuju negara yang berdikari teknologi. Harapannya, Indonesia di masa yang akan datang tak lagi hanya mengandalkan landasan inovasi dari negara lain untuk mengembangkan produk, tetapi juga mampu menyusun sendiri blueprint, standar, lingkar produksi, serta pasar, untuk produk-produk potensial buatan Indonesia.
*) Ulasan di atas disarikan dari agenda NIF Learning Hub berjudul "Tantangan dan Strategi Pemanfaatan Hasil-Hasil Riset dan Inovasi di Indonesia — Catatan Penghiliran Alat-Alat Kesehatan dari UGM" yang dapat disaksikan di tautan berikut.
Kommentare